My New Family

My New Family
BWBers

Friday, April 9, 2010

Cinta yang melompati rasa suka dan tidak suka dan berakhir pada ketaatan..Subhanallah

Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Kata ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya; kerdil. Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan ia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat sosial yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. Tampilan fisik dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya jelek terkesan sangar. Pendek. Bunguk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”

Demikianlah Julaibib.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhluq pun bisa menghalangi. Julaibib menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi saw. “Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, “Tidakkah engkau menikah?”

“Siapakah orangnya Ya Rasulullah”, kata Julaibib, “yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orang tua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. “Julaibib, tidakkah engkau menikah?”. Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib dan membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. “Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah, “menikahkan putri kalian.”

“Betapa indahnya dan betapa barakahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa sang Nabi lah calon menantunya. “Ooh.. Ya Rasulullah,ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami.”

“Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah, “ku pinang putri kalian untuk Julaibib”

“Julaibib?”, nyaris terpekik ayah sang gadis

“Ya. Untuk Julaibib.”

“Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. “Saya harus meminta pertimbangan istri saya tentang hal ini”

“Dengan Julaibib?”, istrinya berseru, “Bagaimana bisa? Julaibib berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta. Demi Allah tidak. Tidak akan pernah putri kita menikah dengan Julaibib”

Perdebatan itu tidak berlangsung lama. Sang putri dari balik tirai berkata anggun, “Siapa yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

“Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku”. Sang gadis yang shalehah lalu membaca ayat ini :

“Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS. Al Ahzab : 36)

Dan sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, “Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atasnya, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Jangan Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Sebuah kisah yang sangat menginspirasi umat Islam dalam memilih dan membuat keputusan. Dari sini kita belajar bagaimana makna cinta yang sebenarnya. Cinta yang tulus karena Allah. Dimana rasa cinta tidak berlandaskan nafsu dan syahwat akan tetapi cinta dapat melompati rasa suka dan tidak suka dan pada akhirnya bermuara pada ketaatan.

Di kutip dari Buku Salim A Fillah : JAlan Cinta Para Pejuang..